
Tiap manusia di seluruh dunia punya lidah yang berbeda.
Orang Amerika sukar mengonsumsi makanan pedas.
Akan tetapi, bagi orang Korea tidak lengkap apabila makanannya tidak pedas. Sama dengan orang Indonesia. Mereka juga begitu.
Ada juga yang alergi terhadap makanan tertentu. Rasanya tiap orang punya pantangan makannya masing-masing.
Sebutlah ada sebuah warung makan di sebuah pusat perbelanjaan. Kancaku mengajak pergi ke sana.
Dia bilang, lidahnya ingin berpesta.
Kami mengunjungi Transmart, kemudian singgah di sebuah warung Jepang. Aku menyebutnya sebagai warung. Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku.
Sebelum bercerita tentang tempat ini, begini kisah tentang selera makanku.
Diri ini termasuk yang sangat pemilih soal makanan. Lidah yang sulit diajak kompromi. Kadang juga tidak sinkron antara otak dan hati. Mereka bertarung menentukan harus makan apa. Sementara lambung sudah berdemonstrasi menuntut haknya.
Apabila tidak dipenuhi, dia akan makar.
Tepat seperti yang dilakukan para tikus di gedung anggota dewan saat ini. Benar-benar kurang ajar!
Kembali persoalan lidah, memang benar dia sulit menerima makanan. Sangat diskriminatif juga. Apabila tidak menyukai suatu makanan, tidak segan akan langsung ditolaknya. Kali ini pun, ditantang untuk memakan Japanese Food!
Tidak terbayang betapa bahagianya temanku. Akan tetapi, ini jadi malapetaka. Bagaimana tidak, aku alergi seafood! Lalu, dengan percaya diri hebat, kami singgah di warung Jepang.
Wah kamu tolol juga ya.
Niat hati menyenangkan kanca, tetapi berujung tersiksa.
Jambi baru saja menangis hebat. Terhitung sejak pukul 14:00, lalu berhenti sekitar pukul 16:00. Kami sampai di tempat ini sekitar 16.30.
Temanku sampai terlebih dahulu. Aku menyusul kemudian. Dia memilih tempat paling sudut di sebelah batas kaca terluar mal Transmart Jambi. Saat aku datang, dia langsung melambaikan tangan.
Baik sekali dia.
Dia tahu aku tidak bisa melihatnya karena mataku rabun. Kemudian duduk dan memesan.
Sekilas aku teringat puisi penyair kondang yang wafat kemarin. Pakde Sapardi orang menyebutnya. Ada puisi miliknya yang cocok untuk menggambarkan situasi ini.
Puisi Di Restoran.
Di Restoran — Sapardi Djoko Damono
Kita berdua saja, duduk.
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput, Kau entah memesan apa.
Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras, Kau entah memesan apa.
Tapi kita berdua saja, duduk.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya memesan rasa lapar yang asing itu.
Kami memang berdua saja, duduk.
Kau entah memesan apa.
Aku tak tahu temanku memesan apa. Sudah tersedia dua piring panjang yang di atasnya ada sesuatu. Seperti bola? Bentuknya bundar dan pipih. Aromanya aneh.
Aku tidak memesan. Dia yang bayar, jadi terima saja ada apa di situ.
Warung Jepang itu namanya Sushi Maru. Mereka menjual sushi dan beberapa makanan Jepang lainnya. Tentu saja mayoritas makanannya berbahan dasar seafood.
Sedikit pengetahuan tentang sushi, rasanya makanan ini punya daya tarik tersendiri. Beberapa seniman bahkan menyebut sushi sebagai sebuah karya seni. Pemikiran ini dibahas Glenn Kuehn sebagai teori Food As Art dalam The Aesthetics of Everyday Life yang disunting oleh Andrew Light dan Jonathan M. Smith.
Sushi dapat dikategorikan sebagai karya seni karena beberapa hal.
Pertama, teknik pembuatannya yang khas. Proses ini bisa jadi memerlukan keahlian khusus. Entah karena ketepatan rasa, presisi ukuran, atau warna yang dihasilkan. Bisa juga karena penyajiannya yang tidak sembarangan. Intinya, teknik memasaknya katakanlah mendekati teknik menciptakan karya seni.
Kedua, ada pengalaman estetik tertentu yang timbul ketika memakannya. Seperti kata Embun Kenyowati, Dosen Filsafat FIB UI.
“Pengalaman estetik ketika makan sushi itu bisa macem-macem. Saya enggak begitu suka, pas makan ya mual. Lidah saya enggak terbiasa dengan makanan mentah.”
ujarnya di kelas Estetika.
Tentu saja aku juga merasakannya. Detik pertama mencium aromanya saja… Rasanya ingin pingsan. Ternyata itu salmon.
Hampir saja termakan.
Apa yang berikutnya terjadi jika termakan? Tak tahu… Terakhir kali aku tak sengaja memakan ikan berakhir dengan demam tinggi. Diare pula. Kata Bu Embun, ini sensasi disgust.
Sushi dengan salmon di piring pertama dibiarkan saja. Temanku kegirangan sekali. Dia bilang enak. Rasanya sedang dibawa ke Surga Firdaus.
Melihatnya tertawa girang karena keenakan sangat aneh. Batas dimensi ketidaksukaan dan kesenangan terhadap sushi.
“Sensasi pleasure,”
kata Bu Embun.
Aku hanya bisa merenung di sana. Menatap piring lain yang tersedia. Sembari memerhatikan kondisi sekitar. Ternyata kami benar-benar berdua saja.
Tak ada pengunjung lain yang makan di warung itu. Hanya ditemani penjaga kasir dan pramusaji. Terdengar sayup suara promo dari karyawan mal. Selebihnya, tinggal kami berdua dan makanan aneh ini.
Jam telah menunjukkan pukul 17:30, sudah hampir magrib.
Rasanya warung ini belum buka ketika pagi. Aku belum pernah melihat ada warung atau kedai serupa yang buka pada pagi hari. Betul saja karena mereka jualan di dalam mal. Sedangkan mal baru akan buka sekitar pukul 10:00.
Siapa juga yang akan berkunjung sepagi itu? Bahkan karyawan, petugas gedung, satpam, dan pemilik warung bisa saja baru akan sarapan pagi di rumah.
Siangnya? Rasanya juga akan sama. Sepi. Mungkin karena pandemi. Orang Indonesia pada umumnya mungkin lebih antusias untuk makan sushi. Akan tetapi, tetap saja saat ini masih pandemi.
Sebetulnya tempat ini akan lebih ramai pada malam hari. Biasanya, orang datang untuk makan malam. Berkumpul bersama keluarga. Family Time sebutannya. Sang anak akan berisik sekali. Berdebat ingin makan apa. Sementara ibunya akan bersiap menghitung berapa nominal yang harus dibayar. Ayahnya akan meneng saja. Ikut apa kata istri, menuruti kemauan anak.
Lalu mereka makan. Bercerita panjang lebar tentang apa saja yang sedang terjadi dalam hidup orang lain. Tidak lupa, membandingkan hidup mereka. Biasanya ini juga dilakukan untuk menanamkan rasa bersyukur pada anak.
Pemikiran yang bagus.
Entahlah. Sejujurnya aku juga takkan pernah menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Seperti telah menyalahi kodrat.
Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lentingnya rasa lapar yang asing itu.
Ungkapan yang sangat presisi. Hebat juga ya Pak Tua itu bermain kata.
Apakah dia juga mendatangi warung Jepang seperti ini, kemudian muntah?
Aku tidak muntah, namun nyaris.
Apakah Pak Tua itu pulang dengan cemberut?
Aku tidak. Di piring satunya, ternyata temanku memesan ayam. Satu-satunya menu yang berbahan non-seafood. Syukurlah setidaknya aku jadi tahu apa itu Sushi Maru beserta isinya.